Pengertian & Latar Belakang
Kekeringan adalah merupakan salah satu bencana yang sulit dicegah dan datang berulang. Secara umum pengertian kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah dari kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Terjadinya kekeringan di suatu daerah bisa menjadi kendala dalam peningkatan produksi pangan di daerah tersebut. Di Indonesia pada setiap musim kemarau hampir selalu terjadi kekeringan pada tanaman pangan dengan intensitas dan luas daerah yang berbeda tiap tahunnya.
Kekeringan merupakan salah satu fenomena yang terjadi sebagai dampak penyimpangan iklim global seperti El Nino dan Osilasi Selatan. Dewasa ini bencana kekeringan semakin sering terjadi bukan saja pada periode tahun-tahun El Nino, tetapi juga pada periode tahun dalam keadaan kondisi normal.
Klasifikasi Kekeringan
Pengertian kekeringan dapat diklasifikasikan lebih spesifik sebagai berikut :
a. Kekeringan Meteorologis
Kekeringan ini berkaitan dengan tingkat curah hujan yang terjadi berada di bawah kondisi normal dalam suatu musim. Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis sebagai berikut:
Kekeringan ini berkaitan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:
Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekringan meteorologis, pertanian dan hidrologis.
Intensitas kekeringan sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum atau air bersih sebagai berikut:
e. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia.
Intensitas kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
Tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai kebutuhan air yang berbeda-beda, baik keseluruhan maupun jumlah kebutuhan pada setiap tahap pertumbuhannya. Tanaman padi misalnya, memerlukan cukup banyak air selama pertumbuhannya. Sedangkan tanaman kedelai termasuk tanaman yang relatif tahan terhadap kekeringan. Namun demikian kedelai mempunyai periode yang riskan terhadap kekurangan air yaitu pada periode perkecambahan dan periode pembentukan biji. Kepekaan tiap tanaman terhadap kekurangan air berbeda dari satu tanaman ke tanaman lainnya dan dari satu tahapan pertumbuhan tanaman ke tahap lainnya dalam satu jenis tanaman.
Tanah merupakan faktor yang menentukan pula kemungkinan terjadinya kekeringan. Besar kecilnya kemampuan tanah untuk menyimpan lengas menentukan besar kecilnya kemungkinan terjadinya kekeringan. Perbedaan fisik tanah juga akan menentukan cepat lambatnya atau besar kecilnya kemungkinan tanaman mengalami kekeringan.
Air untuk daerah tadah hujan diperoleh dari air hujan. Ciri atau sifat hujan di suatu daerah menentukan kemungkinan terjadi atau tidaknya kekeringan di daerah itu. Perubahan yang tak beraturan dari waktu ke waktu adalah tantangan yang besar dalam memprakirakan kebutuhan air tanaman. Jumlah hujan yang besar dan terbagi rata tak akan dirasakan sebagai penyebab kekeringan. Apabila curah hujan tak merata dan menyimpang dari kebiasaan itulah yang akan menyebabkan kekeringan.
Selain tiga faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang bisa menyebabkan tanaman kekeringan yaitu:
A. Penentuan Daerah Rawan Kekeringan
Daerah rawan kekeringan adalah daerah yang pada setiap musim kemarau yang normal selalu berpeluang untuk terjadinya kekurangan air atau kekeringan. Pada umumnya daerah rawan kekeringan adalah daerah dengan tipe iklim kering dan kurang memiliki sarana dan prasarana irigasi.
Daerah rawan kekeringan dapat ditentukan dengan cara:
Peta potensi kekeringan/kebakaran hutan 2009 diperuntukkan bulan Mei sampai dengan Oktober. Sedangkan peta potensi banjir/tanah longsor dibuat untuk bulan Januari sampai dengan Juni dan Nopember sampai Desember. Untuk melihat keseluruhan peta dapat dilihat pada blog http://miftahulmunir.wordpress.com.
Dasar pembuatan peta potensi tersebut adalah:
a. Tipe iklim Thornwaite
Thornwaite memperhatikan suatu hubungan nisbah/perbandingan antara curah hujan dan penguapan yang disebut dengan indeks kelengasan.
Keterangan :
P = Curah hujan bulanan
T = Suhu bulanan rata-rata
E = Penguapan
b. Tipe iklim Mohr
Mohr menentukan 3 kriteria kebasahan yaitu:
c. Tipe iklim Schmidt-Ferguson
Schmidt dan Ferguson meneruskan ide Mohr. Untuk menentukan penggolongan iklim Schmidt-Ferguson menggunakan nilai perbandingan (Q) yaitu perbandingan antara rata-rata banyaknya bulan-bulan kering dan rata-rata banyaknya bulan basah, atau
Schmidt-Ferguson menggolongkan iklim di Indonesia menjadi 8 (delapan) golongan yaitu:
d. Tipe Iklim Boerema
Boerema menggolongkan tipe iklim berdasarkan pola curah hujan bulanan di suatu wilayah. Dengan mengetahui tipe iklim ini kita dapat mengetahui periode rata-rata musim hujan dan musim kemarau. Secara umum iklim di Indonesia terbagi menjadi 3 pola iklim :
1. Pola equatorial
Ditandai dengan terjadinya dua kali puncak hujan dalam setahun sehingga dikatakan dalam daerah bertipe equatorial mempunyai 2 kali musim hujan dan sekali musim kemarau.
2. Pola Monsun
Ditandai dengan perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan umumnya terjadi pada periode Oktober-Maret dan musim kemarau terjadi pada periode April-September.
3. Pola Lokal
Pola ini dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi setempat serta keadaan sekitarnya. Daerah-daerah dengan pola iklim lokal umumnya mempunyai perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau. Namun waktunya berlawanan dengan pola monsun. Apabila daerah berpola monsun sedang dalam periode musim hujan maka daerah berpola monsun sedang mengalamai periode musim hujan, maka daerah dengan pola lokal sedang mengalami musim kemarau dan begitu sebaliknya.
d. Tipe Iklim Oldeman
Oldeman membuat dan menggolongkan tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering secara berturut-turut.
Sedangkan subdivisi ditentukan menjadi 4 didasarkan pada jumlah bulan kering berturut-turut.
Berdasarkan lima tipe utama dan empat subdivisi tersebut maka tipe iklim dapat dikelompokkan menjadi 17 zona agroklimat Oldeman. Untuk menentukan tipe iklim Oldeman menggunakan skema yang disebut skema segitiga. Kriteria tipe iklim Oldeman sebagai berikut:
Data yang diperlukan adalah data curah hujan bulanan selama 10 tahun atau lebih yang diperoleh dari sejumlah pos hujan/stasiun yang selanjutnya dihitung rata-ratanya.
Penjelasan lebih detil dan aplikasi klasifikasi iklim ini akan dijelaskan pada posting yang akan datang.
B. Pengecekan Neraca Klimatologi
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita mencari tahu tingkat kekeringannya dengan menggunakan salah satu analisa Ketersediaan Air Tanah (KAT), misalnya metode Neraca Air Tanah Thornwaite dan Mather.
Prosedur perhitungan neraca air dibuat berdasarkan sistem tata buku Thornwaite dan Mather dengan satuan tinggi air dalam mm.
Untuk neraca air tanaman, evapotranspirasi yang digunakan adalah evapotranspirasi tanaman (ETc) yang menunjukkan jumlah penguapan air yang terjadi pada tanaman sesuai dengan umur dan jenis tanaman selama masa pertumbuhan.
Terlebih dahulu disusun kolom isian analisis sebagai berikut :
Keterangan :
KL = Kapasitas Lapang, TLP = Titik Layu Permanen, APWL = Accumulation Potential of Water Loss, KAT= Kandungan Air Tanah, DKAT= Perubahan kandungan air tanah
Langkah-langkah penghitungan :
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita perhatikan keadaan iklim global dengan melihat terjadi atau tidak El Nino dan La Nina.
C. El-Nino
El Nino adalah peristiwa di lautan berupa penyimpangan suhu laut di atas rata-ratanya di daerah Pasifik tengah dan timur. Pada saat yang bersamaan terjadi perubahan pola tekanan udara di belahan bumi selatan yang dikenal sebagai Indeks Osilasi Selatan (SOI) yaitu perbedaan tekanan di Tahiti dan Darwin. Karena peristiwanya terjadi bersamaan antara El Nino dan SOI maka dikenal dengan istilah ENSO (El Nino Southern Oscillation).
Ciri-ciri terjadinya El Nino :
Sedangkan pengertian La Nina terjadi hal sebaliknya dimana suhu muka laut di Pasifik tengah dan timur lebih rendah (penyimpangan negatif) dari rata-ratanya dan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) bernilai positif. Serta suhu muka laut di kawasan Indonesia di atas rata-ratanya (penyimpangan positif).
Efek dari kejadian La Nina di Indonesia adalah bertambahnya curah hujan. Sehingga yang perlu kita waspadai bila La Nina terjadi pada musim hujan dan efek terburuknya bisa terjadi banjir.
Dengan mengetahui terjadi tidaknya El Nino, kita makin yakin tingkat kerawanan kering di suatu tempat.
D. Prakiraan Musim
BMKG setiap tahunnya pada bulan Maret menerbitkan Prakiraan Musim Kemarau dan bulan September menerbitkan Prakiraan Musim Hujan. Pada prakiraan itu diinformasikan:
E. Prakiraan Curah Hujan Bulanan
Stasiun Klimatologi Klas I dan Klas II setiap bulan membuat prakiraan curah hujan sehingga pendeteksian kekeringan dapat dipertajam lagi dengan prakiraan hujan pada bulan yang akan datang. Untuk Stasiun Klas III dan IV dapat meminta prakiraan dari Stasiun Klas I atau Klas II. Bila prakiraan curah hujan pada bulan yang akan datang lebih kecil maka dapat diprediksikan kekeringan dapat terjadi. Dan bila hal ini terjadi maka Stasiun yang menjadi koordinator dapat memberikan peringatan dini kepada user dan bagi stasiun.
Sumber :
Gusti Rusmayadi. 2002. Klimatologi Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Indrawan Sani. 2006. Analisis Ketersediaan Air Tanah dan Kekeringan dalam Diklat Teknis Klimatologi dan Kualitas Udara. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Kentjus Soesilo. 2007. Gawar Dini Kekeringan dalam Workshop Penguatan Kemampuan UPT BMG dalam Pelayanan Informasi MKKuG untuk Mendukung Penanggulangan Bencana Alam Gempa Bumi, Cuaca dan Iklim Tahap II. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi meteorologis sebagai berikut:
- kering : apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal (curah hujan di bawah normal)
- sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal (curah hujan jauh di bawah normal)
- amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi normal (curah hujan amat jauh di bawah normal).
Kekeringan ini berkaitan dengan berkurangnya pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya kekeringan.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi hidrologis adalah sebagai berikut:
- kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah periode 5 tahunan
- sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh di bawah periode 25 tahunan
- amat sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran amat jauh di bawah periode 50 tahunan
Kekeringan ini berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah terjadinya gejala kekeringan meteorologis.
Intensitas kekeringan berdasarkan definisi pertanian adalah sebagai berikut:
- kering : apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan s/d sedang)
- sangat kering : apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung daun (terkena berat)
- amat sangat kering: apabila seluruh daun kering (puso)
Kekeringan ini terjadi berhubungan dengan berkurangnya pasokan komoditi yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari terjadinya kekringan meteorologis, pertanian dan hidrologis.
Intensitas kekeringan sosial ekonomi dapat dilihat dari ketersediaan air minum atau air bersih sebagai berikut:
e. Kekeringan Antropogenik
Kekeringan ini terjadi karena ketidaktaatan pada aturan yang disebabkan: kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan kawasan tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia.
Intensitas kekeringan akibat ulah manusia terjadi apabila:
- Rawan: apabila penutupan tajuk 40%-50%
- Sangat rawan: apabila penutupan tajuk 20%-40%
- Amat sangat rawan: apabila penutupan tajuk di DAS di bawah 20%.
Tanaman khususnya tanaman pangan mempunyai kebutuhan air yang berbeda-beda, baik keseluruhan maupun jumlah kebutuhan pada setiap tahap pertumbuhannya. Tanaman padi misalnya, memerlukan cukup banyak air selama pertumbuhannya. Sedangkan tanaman kedelai termasuk tanaman yang relatif tahan terhadap kekeringan. Namun demikian kedelai mempunyai periode yang riskan terhadap kekurangan air yaitu pada periode perkecambahan dan periode pembentukan biji. Kepekaan tiap tanaman terhadap kekurangan air berbeda dari satu tanaman ke tanaman lainnya dan dari satu tahapan pertumbuhan tanaman ke tahap lainnya dalam satu jenis tanaman.
Tanah merupakan faktor yang menentukan pula kemungkinan terjadinya kekeringan. Besar kecilnya kemampuan tanah untuk menyimpan lengas menentukan besar kecilnya kemungkinan terjadinya kekeringan. Perbedaan fisik tanah juga akan menentukan cepat lambatnya atau besar kecilnya kemungkinan tanaman mengalami kekeringan.
Air untuk daerah tadah hujan diperoleh dari air hujan. Ciri atau sifat hujan di suatu daerah menentukan kemungkinan terjadi atau tidaknya kekeringan di daerah itu. Perubahan yang tak beraturan dari waktu ke waktu adalah tantangan yang besar dalam memprakirakan kebutuhan air tanaman. Jumlah hujan yang besar dan terbagi rata tak akan dirasakan sebagai penyebab kekeringan. Apabila curah hujan tak merata dan menyimpang dari kebiasaan itulah yang akan menyebabkan kekeringan.
Selain tiga faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang bisa menyebabkan tanaman kekeringan yaitu:
- Petani tak memperhatikan pola tanam, artinya petani menanam padi semaunya dan kapan saja.
- Terjadinya perubahan iklim. Misalnya awal musim hujan terjadi lebih lambat atau lebih awal atau musim kemarau yang terjadi lebih awal, sehingga kebutuhan air untuk tanaman tak mencukupi.
- Terjadi kerusakan jaringan pengairan.
- Keadaan ekstrim.
A. Penentuan Daerah Rawan Kekeringan
Daerah rawan kekeringan adalah daerah yang pada setiap musim kemarau yang normal selalu berpeluang untuk terjadinya kekurangan air atau kekeringan. Pada umumnya daerah rawan kekeringan adalah daerah dengan tipe iklim kering dan kurang memiliki sarana dan prasarana irigasi.
Daerah rawan kekeringan dapat ditentukan dengan cara:
- Pembuatan peta kekeringan
- Penentuan tipe-tipe iklim di daerah kita
Peta potensi kekeringan/kebakaran hutan 2009 diperuntukkan bulan Mei sampai dengan Oktober. Sedangkan peta potensi banjir/tanah longsor dibuat untuk bulan Januari sampai dengan Juni dan Nopember sampai Desember. Untuk melihat keseluruhan peta dapat dilihat pada blog http://miftahulmunir.wordpress.com.
Dasar pembuatan peta potensi tersebut adalah:
- Rata-rata curah hujan sepanjang pengamatan (minimal 5 tahun).
- Curah hujan rendah (di bawah 100 mm/bulan) berpotensi terjadi kekeringan.
- Curah hujan tinggi (di atas 300 mm/bulan) berpotensi terjadi banjir dan tanah longsor.
- Peta dapat digunakan sebagai gambaran awal untuk perencanaan. Faktanya agar dilakukan evaluasi di lapangan.
- Rendah, bila curah hujan di bawah 100 mm/bulan
- Sedang, bila curah hujan antara 100-300 mm/bulan
- Tinggi, bila curah hujan di atas 300 mm/bulan
a. Tipe iklim Thornwaite
Thornwaite memperhatikan suatu hubungan nisbah/perbandingan antara curah hujan dan penguapan yang disebut dengan indeks kelengasan.
Keterangan :
P = Curah hujan bulanan
T = Suhu bulanan rata-rata
E = Penguapan
b. Tipe iklim Mohr
Mohr menentukan 3 kriteria kebasahan yaitu:
- Bulan kering jika curah hujan satu bulan kurang dari 60 mm.
- Bulan lengas jika curah hujan satu bulan antara 60 mm sampai 100 mm
- Bulan basah jika curah hujan satu bulan lebih dari 100 mm
c. Tipe iklim Schmidt-Ferguson
Schmidt dan Ferguson meneruskan ide Mohr. Untuk menentukan penggolongan iklim Schmidt-Ferguson menggunakan nilai perbandingan (Q) yaitu perbandingan antara rata-rata banyaknya bulan-bulan kering dan rata-rata banyaknya bulan basah, atau
Schmidt-Ferguson menggolongkan iklim di Indonesia menjadi 8 (delapan) golongan yaitu:
d. Tipe Iklim Boerema
Boerema menggolongkan tipe iklim berdasarkan pola curah hujan bulanan di suatu wilayah. Dengan mengetahui tipe iklim ini kita dapat mengetahui periode rata-rata musim hujan dan musim kemarau. Secara umum iklim di Indonesia terbagi menjadi 3 pola iklim :
1. Pola equatorial
Ditandai dengan terjadinya dua kali puncak hujan dalam setahun sehingga dikatakan dalam daerah bertipe equatorial mempunyai 2 kali musim hujan dan sekali musim kemarau.
2. Pola Monsun
Ditandai dengan perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan umumnya terjadi pada periode Oktober-Maret dan musim kemarau terjadi pada periode April-September.
3. Pola Lokal
Pola ini dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi setempat serta keadaan sekitarnya. Daerah-daerah dengan pola iklim lokal umumnya mempunyai perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau. Namun waktunya berlawanan dengan pola monsun. Apabila daerah berpola monsun sedang dalam periode musim hujan maka daerah berpola monsun sedang mengalamai periode musim hujan, maka daerah dengan pola lokal sedang mengalami musim kemarau dan begitu sebaliknya.
d. Tipe Iklim Oldeman
Oldeman membuat dan menggolongkan tipe iklim di Indonesia berdasarkan pada kriteria bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering secara berturut-turut.
- Bulan basah (BB) : Bulan dengan curah hujan satu bulan > 200 mm
- Bulan lembab (BL) : Bulan dengan curah hujan satu bulan 100-200 mm
- Bulan kering (BK) : Bulan dengan curah hujan satu bulan < 100 mm.
Sedangkan subdivisi ditentukan menjadi 4 didasarkan pada jumlah bulan kering berturut-turut.
Berdasarkan lima tipe utama dan empat subdivisi tersebut maka tipe iklim dapat dikelompokkan menjadi 17 zona agroklimat Oldeman. Untuk menentukan tipe iklim Oldeman menggunakan skema yang disebut skema segitiga. Kriteria tipe iklim Oldeman sebagai berikut:
Data yang diperlukan adalah data curah hujan bulanan selama 10 tahun atau lebih yang diperoleh dari sejumlah pos hujan/stasiun yang selanjutnya dihitung rata-ratanya.
Penjelasan lebih detil dan aplikasi klasifikasi iklim ini akan dijelaskan pada posting yang akan datang.
B. Pengecekan Neraca Klimatologi
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita mencari tahu tingkat kekeringannya dengan menggunakan salah satu analisa Ketersediaan Air Tanah (KAT), misalnya metode Neraca Air Tanah Thornwaite dan Mather.
Prosedur perhitungan neraca air dibuat berdasarkan sistem tata buku Thornwaite dan Mather dengan satuan tinggi air dalam mm.
Untuk neraca air tanaman, evapotranspirasi yang digunakan adalah evapotranspirasi tanaman (ETc) yang menunjukkan jumlah penguapan air yang terjadi pada tanaman sesuai dengan umur dan jenis tanaman selama masa pertumbuhan.
Terlebih dahulu disusun kolom isian analisis sebagai berikut :
KL = TLP =
Keterangan :
KL = Kapasitas Lapang, TLP = Titik Layu Permanen, APWL = Accumulation Potential of Water Loss, KAT= Kandungan Air Tanah, DKAT= Perubahan kandungan air tanah
Langkah-langkah penghitungan :
- Kolom curah hujan (CH), diisi curah hujan rata-rata bulanan.
- Kolom evapotranspirasi potensial (ETp) diisi nilai ETp standar (vegetasi rumput) dengan urutan prioritas sbb: ETp lisimeter, Evaporasi Panci Kelas A dikalikan tetapan, ETp hasil perhitungan dengan rumus Pennman, Thornwaite, Blaney Criddle dan seterusnya.
- Kolom CH - ETp diisi selisih jumlah curah hujan dan evapotranspirasi potensial
- Kolom APWL (Akumulasi Potensial untuk penguapan), diisi jika hasil kolom CH - ETp negatif dan kemudian diakumulasikan jika pada periode berikutnya CH - ETp negatif.
- Pengisian kolom KAT dimulai dari bulan pertama terjadi APWL berdasarkan tabel Soil Moisture retention atau rumus sebagai berikut : k = 1.000412351 + (-1.073807306)/KL
- Kolom DKAT (Perubahan KAT) diisi nilai KAT dari bulan tersebut dikurangi KAT bulan sebelumnya.
- Kolom ETa (Evapotranspirasi Aktual) diisi jika CH > ETp maka ETa = ETp. Pada bulan-bulan terjadi APWL (CH <>
- Kolom defisit (D) diisi ETp-ETa
- Kolom surplus (S) diisi saat tak ada D, maka S = CH-ETp-DKAT.
Setelah mengetahui daerah-daerah yang rawan kering, kita perhatikan keadaan iklim global dengan melihat terjadi atau tidak El Nino dan La Nina.
C. El-Nino
El Nino adalah peristiwa di lautan berupa penyimpangan suhu laut di atas rata-ratanya di daerah Pasifik tengah dan timur. Pada saat yang bersamaan terjadi perubahan pola tekanan udara di belahan bumi selatan yang dikenal sebagai Indeks Osilasi Selatan (SOI) yaitu perbedaan tekanan di Tahiti dan Darwin. Karena peristiwanya terjadi bersamaan antara El Nino dan SOI maka dikenal dengan istilah ENSO (El Nino Southern Oscillation).
Ciri-ciri terjadinya El Nino :
- Memanasnya suhu muka laut (Sea Surface Temperature/SST) di atas rata-ratanya (penyimpangan positif) > 1.5 °C di kawasan equator Samudera Pasifik bagian timur. Mendinginnya suhu muka laut hingga di bawah rata-ratanya (penyimpangan negatif) < -1,5 °C di kawasan Indonesia.
- Perubahan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) nilai negatif (< -10)
- Melemahnya angin pasat timur di atas perairan Samudera Pasifik hingga di bawah normalnya.
Sedangkan pengertian La Nina terjadi hal sebaliknya dimana suhu muka laut di Pasifik tengah dan timur lebih rendah (penyimpangan negatif) dari rata-ratanya dan perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin (SOI) bernilai positif. Serta suhu muka laut di kawasan Indonesia di atas rata-ratanya (penyimpangan positif).
Efek dari kejadian La Nina di Indonesia adalah bertambahnya curah hujan. Sehingga yang perlu kita waspadai bila La Nina terjadi pada musim hujan dan efek terburuknya bisa terjadi banjir.
Dengan mengetahui terjadi tidaknya El Nino, kita makin yakin tingkat kerawanan kering di suatu tempat.
D. Prakiraan Musim
BMKG setiap tahunnya pada bulan Maret menerbitkan Prakiraan Musim Kemarau dan bulan September menerbitkan Prakiraan Musim Hujan. Pada prakiraan itu diinformasikan:
- Permulaan musim yang menginformasikan kapan awal musim akan terjadi.
- Perbandingan terhadap rata-ratanya yang menginformasikan maju mundurnya awal musim.
- Sifat hujan yang menginformasikan berapa besar dan sifat curah hujan selama musim tersebut.
E. Prakiraan Curah Hujan Bulanan
Stasiun Klimatologi Klas I dan Klas II setiap bulan membuat prakiraan curah hujan sehingga pendeteksian kekeringan dapat dipertajam lagi dengan prakiraan hujan pada bulan yang akan datang. Untuk Stasiun Klas III dan IV dapat meminta prakiraan dari Stasiun Klas I atau Klas II. Bila prakiraan curah hujan pada bulan yang akan datang lebih kecil maka dapat diprediksikan kekeringan dapat terjadi. Dan bila hal ini terjadi maka Stasiun yang menjadi koordinator dapat memberikan peringatan dini kepada user dan bagi stasiun.
Sumber :
Gusti Rusmayadi. 2002. Klimatologi Pertanian. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.
Indrawan Sani. 2006. Analisis Ketersediaan Air Tanah dan Kekeringan dalam Diklat Teknis Klimatologi dan Kualitas Udara. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Kentjus Soesilo. 2007. Gawar Dini Kekeringan dalam Workshop Penguatan Kemampuan UPT BMG dalam Pelayanan Informasi MKKuG untuk Mendukung Penanggulangan Bencana Alam Gempa Bumi, Cuaca dan Iklim Tahap II. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
3 komentar:
mantabbb
thx
MANTABBBBB
Terima kasih atas ilmunya, mohon izin mengutip beberapa definisi di atas..
Posting Komentar