Oleh
: Khairullah
Mahasiswa Pasca Sarjana Klimatologi Terapan IPB asal
Kalimantan Selatan
Tahun kemarin Banjarbaru mendapatkan
penghargaan Adipura Kirana, penghargaan yang dititikberatkan kota yang mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan, wisata dan investasi
berbasis pengelolaan lingkungan hidup. Langkah yang maju bagi Banjarbaru menuju
kota yang bersih, hijau dan sehat, tentu banyak tantangan yang dihadapi.
Membangun suatu kota tidak hanya membangun sumber daya manusia saja tetapi
perlu membangun fisiknya. Pembangunan fisik penting karena kota terdapat
pemusatan penduduk dengan berbagai jenis kegiatan ekonomi, sosial budaya dan
administrasi pemerintahan.
Gambar 1. Peta Banjarbaru
Di
dalam konsep Klimatologi Perkotaan (Urban Klimatologi), permasalahan di kota karena
pembangunan sangat besar akan membawa perubahan di permukaan bumi. Persoalan
sumber daya air, pencemaran yang berdampak pada kesehatan, kebisingan yang
tinggi, menurunnya kenyamanan termal dan perubahan iklim di kota. Ada suatu
fenomena “pulau panas perkotaan” atau UHI (Urban
Heat Island), sebutan kecenderungan suatu kota temperaturnya lebih panas dibanding
daerah pinggiran di sekitarnya, dengan perbedaan temperatur pada malam hari
lebih tinggi daripada siang hari. Pembangunan di kota membuat vegetasi alami
digantikan permukaan vegetasi yang sulit untuk berevaporasi dan bertranspirasi
misalnya logam, aspal dan beton. Banyak gedung di kota besar dibangun dengan
material yang menyerap panas dan menyimpan panas, menyebabkan aliran angin
tidak lancar cenderung menghalangi aliran angin. Seharusnya panas yang
tersimpan dapat menghilang secara alami saat malam hari tetapi gedung
menghalanginya, menyebabkan kontrasnya radiasi permukaan dan suhu perkotaan
antara kota dan pinggiran di sekitarnya. Panas buangan akibat penggunaan energi
dan transportasi juga kontributor terbesar. Ketika pusat penduduk berkembang,
mereka cenderung mengalih guna lahan lebih luas lagi sehingga mengalami
peningkatan suhu permukaan tanah. Peristiwa ini mirip peristiwa global warming secara lokal dan
kebanyakan terjadi di kota-kota besar di dunia, tetapi anehnya tidak terjadi di
sub urban sekitarnya. Penyebab utama fenomena ini dari dampak aktivitas manusia
(antropogenik) dan populasinya yang terus meningkat.
Gambar 2. Profil suhu udara UHI
Gambar 3. Mekanisme terjadinya UHI
Kota Banjarbaru menuju ibukota Kalimantan Selatan
Kota
Banjarbaru sejak rencana pemindahan ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru,
mengalami perkembangan pesat dan meningkat populasinya. Sensus penduduk tahun
2000 dan 2010 menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Banjarbaru sebesar 4,88%
menurut BPS Banjarbaru. Angka tersebut lebih tinggi daripada laju pertumbuhan
rata-rata Kalimantan Selatan 1,98%. Menurut Ruslan dan Rahmad (2012),
pemindahan perkantoran pemerintahan provinsi Kalimantan Selatan ke kota
Banjarbaru menyebabkan peningkatan pemadatan (pembangunan tanah kosong) dan
peningkatan intensitas penduduk. Pengembangan kawasan pemukiman, peningkatan
jumlah penduduk akan berdampak pada perubahan penggunaan lahan disertai
aktivitasnya seperti halnya peningkatan kendaraan bermotor yang meningkatkan
emisi gas buang. Kalau tidak mengantisipasi fenomena UHI tersebut bisa jadi masalah di kota Banjarbaru saat terjadi pembangunan
yang pesat tanpa mengindahkan lingkungan diiringi suhu udara terus meningkat.
Van Der Pijl arsitek Kota Banjarbaru
Menurut
sejarahnya, Banjarbaru dibangun awalnya bukan cuma untuk ibukota Kalimantan
Selatan tapi untuk ibukota Kalimantan. Menurut Aufa dan Anhar (2012), kota
Banjarbaru merupakan rancangan arsitek kelahiran Belanda bernama Dirk Andries
Willem Van der Pijl. Tahun 1953, dr. Murjani gubernur Kalimantan dibantu oleh
Van der Pijl merencanakan “Gunung Apam” sebagai ibukota dengan terlebih dulu merancang
pembangunan perkantoran. Taman-taman seperti halnya taman Van der Pijl dan
taman Idaman serta beberapa taman lainnya di kota Banjarbaru diiringi dengan
beberapa jenis tanaman telah dirancang. Beliau telah merancang Banjarbaru
sebagai fungsi pemerintahan, perindustrian, perumahan dan perniagaan dengan
baik menjadi kawasan yang nyaman.
Gambar 4. Dirk Andries
Willem Van der Pijl (1901-1974)
Smart Green City untuk Banjarbaru
Kota hijau adalah konsep pembangunan
kota berkelanjutan dan ramah lingkungan dengan strategi pembangunan seimbang
antara pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial dan perlindungan lingkungan
sehingga kota jadi tempat yang layak huni. Hal ini dapat sebagai solusi masalah
di atas. Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) dengan melakukan penataan ruang
yang baik berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang disebut
konsep Smart Green City Planning. Kota
hijau (smart green city) adalah kota
yang memanfaatkan secara efektif dan efisien sumber daya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan
lingkungan, dan menyinergikan lingkungan alami dan buatan. Indikator suatu kota
hijau untuk Banjarbaru dengan beberapa aspek yaitu : perencanaan dan rancangan
hijau (green planning and design),
ruang terbuka hijau (green open space),
pengelolaan sampah hijau (green waste),
transportasi hijau (green transportation),
manajemen air hijau (green water),
energi hijau (green energy), bangunan
hijau (green building) dan komunitas
hijau (green community).
Gambar 5. 8 unsur kota hijau
Perencanaan dan rancangan hijau (green planning and design) merupakan perwujudan rencana tata ruang dan rancang kota yang berbasis lingkungan hidup serta menciptakan biofisik kawasan sebagai penyangga ekologis. Penyusunannya harus dilaksanakan terus menerus serta sinergis antara perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintah kota Banjarbaru harus menciptakan keadaan fisik kota yang estetik, atraktif dan populasi yang seimbang di Banjarbaru Utara, Banjarbaru Selatan, Cempaka, Landasan Ulin maupun Liang Anggang.
Perencanaan dan rancangan hijau (green planning and design) merupakan perwujudan rencana tata ruang dan rancang kota yang berbasis lingkungan hidup serta menciptakan biofisik kawasan sebagai penyangga ekologis. Penyusunannya harus dilaksanakan terus menerus serta sinergis antara perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang. Pemerintah kota Banjarbaru harus menciptakan keadaan fisik kota yang estetik, atraktif dan populasi yang seimbang di Banjarbaru Utara, Banjarbaru Selatan, Cempaka, Landasan Ulin maupun Liang Anggang.
Ruang terbuka hijau (green open space) berdasarkan UU No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap wilayah kota harus menyediakan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) paling tidak sebesar 30% dari luas wilayah. Ruang terbuka
hijau mempunyai fungsi ekologis selain fungsi estetika, arsitektur, sosial dan
ekonomi. Ruang terbuka hijau mampu mengameliorasi iklim selain menurunkan suhu
udara juga dapat meningkatkan kelembaban udara. Krisdianto dan kawan-kawan
(2012) mengusulkan vegetasi Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) Hutan
Pinus (Tusam) untuk andalan di Banjarbaru karena dapat mengendalikan iklim
mikro dan mereduksi suhu udara sebagai peneduh. Ruslan dan Rahmad (2012) menyarankan
tanaman Angsana dan Tanjung di RTH Banjarbaru penyerap emisi Karbondioksida (CO2).
Widiastuti (2013) mengajukan ide kota ekologis dengan pengelolaan taman kota
dan jalur hijau sebagai ruang publik. Asy’ari (2008) menyatakan di jalur hijau
wilayah perkotaan Banjarbaru perlu penambahan tumbuh-tumbuhan yang alamiah atau
dibudidayakan. Hutan kota adalah vegetasi yang menciptakan kualitas lingkungan
nyaman, mampu menyerap debu dan kebisingan. Tanaman yang dipilih vegetasi
peneduh, pereduksi polusi ataupun keadaan kurang mendukung dan tanaman langka khas
dari Banjarbaru.
Pengelolaan sampah hijau (green waste) adalah mengaplikasikan
teknologi pembuangan sampah dan pengolahan yang ramah lingkungan. Ketidaknyamanan
di kota karena sampah yang mengeluarkan gas polutan dan memicu kenaikan suhu. Kita
harus menciptakan kawasan yang bebas sampah. Aspek meteorologis harus
diperhatikan seperti halnya dari arah mana angin bertiup, untuk memprakirakan
ke mana polutan dalam sampah terdispersi sebagai acuan membuat penampungan
sampah jauh dari penampungan masyarakat. Pentingnya penanganan sampah di hilir
dan di hulu, di hilir sampah dipilah antara organik dan anorganik dengan
pemberdayaan Bank sampah. Di hulu sampah diolah dan diproses, sampah non
organik dapat didaur ulang. Sampah diproses agar tidak menumpuk dan menimbulkan
penyakit.
Transportasi hijau (green transportation) dilakukan dengan mengembangkan sistem
transportasi berkelanjutan. Mengutamakan transportasi massal yang baik dan transportasi
ramah polusi dapat mewujudkan kenyamanan masyarakat beraktivitas. Perlu diingat
mencegah kemacetan karena dapat menyebabkan polusi udara yang tinggi. Jalur
kawasan tertib lalu lintas dengan pembatas jalan taman yang hijau disertai
sarana transportasi hijau bisa sebagai solusi. Prioritas utama di suatu
transportasi hijau yang perlu difasilitasi meliputi pejalan kaki, sepeda dan
transportasi publik. Kendaraan angkutan dan kendaraan pribadi tetap diperlukan
dengan menggunakan bahan bakar rendah polusi dan teknologi yang rendah emisi. Transportasi
hijau akan memberikan manfaat terhadap lingkungani, kesehatan, pembangunan
ekonomi berkelanjutan serta menghemat biaya.
Gambar 7. Konsep transportasi hijau
Gambar 8. Hirarki segitiga transportasi hijau
Manajemen air hijau (green water) diterapkan dengan adanya
Ruang Terbuka Biru (RTB), badan air yang dapat menampung air. RTB ini dapat
memproteksi tata air, tata udara dan tata tanah serta mengkonservasi
keanekaragaman hayati, menghindari banjir dan menciptakan keindahan lanskap. RTB
mempunyai fungsi penyerap karbon yang efektif, zona wajib atmosfer ekologis di
wilayah tersebut dan salah satu penyedia oksigen bagi makhluk hidup di
sekitarnya. RTB dapat menjadi pelengkap RTH untuk mencapai kenyamanan termal. Manajemen
kegiatan Program Kali Bersih patut didukung agar sungai kita hijau, bersih dan
sehat. Danau Seran dan Embung Sidodadi adalah contoh potensi RTB di Banjarbaru
apabila dikelola dengan baik.
Gambar 9. Danau Seran Banjarbaru
Energi hijau (green energy) adalah strategi melalui pengurangan penggunaan energi yang tidak perlu, mengembangkan energi terbarukan dan mengurangi emisi karbon di perkotaan. Mengedepankan energi dari sumber yang lebih ramah lingkungan dan minim polusi daripada energi fosil. Energi terbaharukan seperti halnya tenaga surya atau tenaga angin adalah unsur iklim yang potensial sebagai sumber energi. Energi biomassa melalui Bahan Bakar Nabati (BBN), panas bumi, energi dari pengolahan sampah (metana) dan tenaga air dapat dikembangkan disertai budaya hemat energi.
Gambar 10. Ilustrasi energi hijau
Energi hijau (green energy) adalah strategi melalui pengurangan penggunaan energi yang tidak perlu, mengembangkan energi terbarukan dan mengurangi emisi karbon di perkotaan. Mengedepankan energi dari sumber yang lebih ramah lingkungan dan minim polusi daripada energi fosil. Energi terbaharukan seperti halnya tenaga surya atau tenaga angin adalah unsur iklim yang potensial sebagai sumber energi. Energi biomassa melalui Bahan Bakar Nabati (BBN), panas bumi, energi dari pengolahan sampah (metana) dan tenaga air dapat dikembangkan disertai budaya hemat energi.
Bangunan hijau (green building) menciptakan gedung-gedung dan tempat tinggal yang nyaman disesuaikan dengan mengatur arsitektur yang tanggap terhadap iklim setempat, menyesuaikan arsitektur daerah dan iklim setempat (vernakular). Kenyamanan termal pada suatu bangunan memperhatikan aspek suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari dan arah pergerakan angin. Saud dan Aufa (2012) mencontohkan rumah Banjar sebagai salah satu bangunan yang cocok untuk kenyamanan termal di Kalimantan Selatan.
Gambar 11. Rumah bubungan tinggi/ rumah Banjar (Sumber : Saud dan Aufa, 2012)
Komunitas hijau (green community) penting untuk menciptakan kesadaran masyarakat dan
partisipasi publik berperilaku cinta lingkungan. Komunitas ini strategi untuk menciptakan
karakter serta kebiasaan ramah lingkungan. Pemerintah dan komunitas privat
ataupun lembaga swadaya masyarakat haruslah gencar mengkampanyekan komunitas
hijau yang terbentuk dalam kelompok-kelompok sosial. Pendidikan dini terhadap
anak-anak dan generasi muda tentang ekosistem serta lingkungan penting menciptakan
rasa memiliki mereka. Wahana kegiatan yang hijau berupa kegiatan masyarakat
(perlombaan), diskusi ilmiah, komunitas dengan hobi hijau yang sama perlu
digalakkan. Tempat wisata edukasi yang hijau dapat pula membantu membimbing
masyarakat berkarakter peduli lingkungan, seperti halnya Kebun Raya Banua.
Dengan
mengoptimalkan kedelapan unsur itu insyaallah kota Banjarbaru yang hijau dapat
kita capai. Hal ini dapat dicapai tidak hanya dari kerja komunitas tertentu
atau pemerintah daerah saja, tetapi partisipasi seluruh masyarakat yang merasa
memiliki terhadap kota Banjarbaru.
(Dimuat di Radar Banjarmasin Selasa, 31 Januari 2017)
(Dimuat di Radar Banjarmasin Selasa, 31 Januari 2017)
Sumber :
Aufa, N dan Anhar, P. 2012. Studi Tata Ruang
Kota Rancangan Van Der Pijl Kasus: Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Tataloka 14 (2) : 142-155.
Asy'ari, M. 2008. Perbedaan Hutan Kota
Bentuk Jalur dan Taman Kota terhadap Temperatur Sekitarnya di Kota Banjarbaru
Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis 22 : 193-196.
Krisdianto, Soemarno, Udiansyah, Januwiadi, B dan Ramadhani, F. 2012.
Potensi Vegetasi Tusam menjadi Payung Hijau di RTHKP Banjarbaru. J.
Lingkungan Binaan Indonesia. Vol 1 (1) : 19-26
Ruslan, M dan Rahmad, B. 2012. Kajian Ruang Terbuka Hijau dalam Rangka
Pembentukan Hutan Kota di Banjarbaru. Jurnal Hutan Tropis 13 (1).
Saud, M. I dan Aufa, N. 2012. Tanggapan
terhadap Iklim sebagai Perwujudan Nilai Vernakular pada Rumah Bubungan Tinggi.
LANTING J. Architecture. 1 (2) : 106-116.
Widiastuti, K. 2013. Taman Kota dan Jalur
Hijau Jalan sebagai Ruang Terbuka Hijau Publik di Banjarbaru. Modul 13 (2) :
57-64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar