Gambar 1. Topografi di Indonesia. Diadaptasi dari : Hidayat dan Kizu (2009)
Di awal Juni 2019 yang lalu Kalimantan Selatan dan beberapa daerah lain di Indonesia dilanda kejadian bencana hidrometeorologi. Hujan yang turun beberapa jam pada Sabtu (8/6) lalu langsung
menyebabkan Kotabaru dan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, diterjang
banjir.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut bencana
banjir yang akhir-akhir ini terjadi di beberapa wilayah Indonesia akibat
aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO). Apakah MJO tersebut? Informasinya dapat anda baca pada artikel berikut ini.
Indonesia adalah wilayah yang rentan terhadap variabilitas iklim. Kejadian iklim ekstrim di tempat kita dapat mengakibatkan dampak yang merugikan di berbagai bidang. Kejadian iklim yang ekstrim di daerah kita terkait erat dengan variabilitas curah hujan. Hujan yang ekstrim dapat menyebabkan kejadian banjir dan sebaliknya rendahnya hujan dapat menyebabkan kekeringan. Dengan memahami variabilitas hujan dan faktor yang mempengaruhinya dapat berguna meningkatkan prakiraan iklim dan mengurangi resiko dari bencana alam (Hidayat, 2015).
Indonesia adalah wilayah yang rentan terhadap variabilitas iklim. Kejadian iklim ekstrim di tempat kita dapat mengakibatkan dampak yang merugikan di berbagai bidang. Kejadian iklim yang ekstrim di daerah kita terkait erat dengan variabilitas curah hujan. Hujan yang ekstrim dapat menyebabkan kejadian banjir dan sebaliknya rendahnya hujan dapat menyebabkan kekeringan. Dengan memahami variabilitas hujan dan faktor yang mempengaruhinya dapat berguna meningkatkan prakiraan iklim dan mengurangi resiko dari bencana alam (Hidayat, 2015).
Indonesia mempunyai wilayah daratan dan lautan yang luas. Lebih dari sepuluh ribu pulau dikelilingi oleh lautan. Pulau-pulau ini wilayahnya bergunung-gunung dan terletak di daerah equatorial yang aktifitas konvektifnya paling tinggi. Konveksi yang menggerakkan sirkulasi atmosfer melalui penyerapan dan pelepasan sejumlah bahang laten (latent heat) (Hidayat dan Kizu, 2009).
Indonesia sebagai daerah yang intensif proses konveksi dan curah hujan karena negara kepulauan, mempunyai kawasan lautan yang luas. Lautan merupakan tempat penyimpanan panas yang berguna dalam pembentukan awan-awan konvektif. Keragaman aktifitas konveksi yang kuat di daerah tropis tak hanya dalam skala waktu harian, tapi juga skala waktu intra-musiman. Gangguan skala besar di daerah tropis dalam aktifitas konvektif yang mempengaruhi keragaman curah hujan pada skala intra-musiman ini disebut sebagai MJO (Madden Julian Oscillation). MJO
mempengaruhi cuaca tropis secara signifikan,
khususnya di Samudera Hindia, Benua Maritim
Indonesia (BMI) dan Samudera Pasifik bagian
barat (Arbain et al., 2017).
MJO pertama kali ditemukan tahun 1971 oleh Dr Roland Madden dan Dr Paul Julian dari NCAR (National Center for Atmospheric Research) AS, ketika mereka mempelajari pola angin dan tekanan tropis. Mereka mengamati adanya osilasi yang teratur angin di antara Singapura dan Pulau Kanton di Barat Tengah Pasifik Ekuator.
Madden Julian Oscillation (MJO) adalah osilasi intraseasonal di wilayah tropis dengan karakteristik utama adanya wilayah peningkatan dan penurunan curah hujan yang bergerak berpasangan (dipol) mengelilingi bumi dari Barat ke Timur, dari Barat ke Timur (Arbain et al., 2017). MJO fenomena yang unik diidentifikasikan sebagai gelombang yang menjalar dari Barat (Samudera Hindia) hingga ke Timur (Samudera Pasifik) pada periode 30-60 hari (Yulihastin et al., 2017). MJO gangguan cuaca seperti pada awan, hujan, angin dan tekanan yang memiliki pergerakan ke arah timur, serta melintasi daerah tropis dan kembali lagi pada titik awalnya. MJO dalam fase aktif memiliki korelasi terjadinya intensitas curah hujan yang tinggi terhadap wilayah yang dilaluinya. MJO juga memberikan efek signifikan terhadap monsun, seperti mempengaruhi waktu onset monsun, juga mengganggu fase aktif dan fase jeda (break) monsun.
Berbeda dengan ENSO yang stasioner, MJO bergerak ke timur, melintasi daerah tropis dan kembali ke titik awalnya dalam waktu 30 hingga 60 hari. MJO lebih mudah digambarkan dalam variabilitas iklim tropis intraseasonal (variabilitas yang mingguan).
- Fase 1 di benua Afrika (21°BB- 60°BT)
- Fase 2 di Samudera Hindia bagian barat (60° BT - 80° BT).
- Fase 3 di Samudera Hindia bagian Timur (80° BT - 100 °BT).
- Fase 4 di Indonesia bagian Barat (100° BT - 120° BT).
- Fase 5 di Indonesia bagian Timur (120° BT -140° BT).
- Fase 6 di kawasan Pasifik Barat (140° BT - 160° BT).
- Fase 7 di Kawasan Pasifik Timur (160°BT - 180° BT).
- Fase 8 daerah konveksi di belahan Pasifik Timur ((180° - 160° BB).
Kalau digambarkan dalam peta sebagai berikut :
Gambar 2. Posisi beberapa fase MJO
Kalau digambarkan dalam indeks RMM1 dan RMM2 sebagai berikut :
Gambar 3. Contoh gambar posisi MJO dengan data indeks RMM1 dan RMM2
Sumber : http://www.bom.gov.au/climate/mjo/
Cara mendeteksi MJO juga dapat dilakukan dengan diagram hovmoller. Diagram tersebut menggambarkan semua nilai rata-rata pada satu kolom garis bujur/ lintang dengan menempatkan nilai-nilai tersebut dalam satu sumbu sedangkan sumbu yang lain menggambarkan dimensi waktu. Propagasi MJO dapat dideteksi pergerakannya menggunakan diagram ini melalui sumbu vertikal menjelaskan waktu sedangkan sumbu horizontal menjelaskan garis bujur. MJO juga dapat dideteksi melalui beberapa variabel atmosfer seperti OLR (Outgoing Longwave Radiation) dan angin di mana variabel tersebut mempunyai osilasi yang kuat saat fase aktif.
Gambar 4. Contoh diagram Hovmoller anomali OLR
Anomali OLR negatif (warna ungu) menunjukkan banyaknya kumpulan awan berada di lokasi garis bujur yang bersangkutan dibandingkan klimatologisnya, sebaliknya anomali OLR positif (warna oranye) menunjukkan sedikitnya kumpulan awan. Kalimantan Selatan terletak pada kisaran 114 19' 33" BT sampai 116 33' 28" BT. Kumpulan awan tersebut menunjukkan lebih banyaknya hujan yang terjadi daripada klimatologisnya. Pergerakan MJO yang kuat ke arah timur digambarkan dengan warna ungu.
Gambar 5. Struktur dan pergerakan MJO
Gambar 6. Sirkulasi MJO pada angin zonal 850 mb
Sumber : Hidayat (2015)
Sirkulasi dan konveksi terkait dengan MJO. Sirkulasi dan konveksi pada angin zonal 850 mb dapat digambarkan (Gambar 6) sebagai berikut :
- Fase 8 ke 1 : Indonesia umumnya tertutupi oleh daerah konvektif dan penurunan massa udara (suppressed area)
- Fase 2 ke 3 : kenaikan konveksi di bagian Barat Samudra Hindia, bergerak ke Timur dengan kekuatan yang timuran
- Fase 4 ke 5 : konveksi maksimum melalui di atas Indonesia
- Fase 6 ke 7 : konveksi menurun (suppressed convection), pusat bergerak konveksi ke Timur.
Dari Gambar 7, dapat dilihat pada saat terjadi hujan di pertengahan Juni 2019 di fase 4 dan 5.
Gambar 7. Posisi MJO dan satelit di Kalimantan Selatan
https://www.climate.gov/news-features/blogs/enso/what-mjo-and-why-do-we-care diakses 20 Juni 2019
https://www.data.jma.go.jp/mscweb/en/aomsuc6_data/oral/s08-03.pdf diakses 19 Juni 2019
https://www.metoffice.gov.uk/weather/learn-about/weather/atmosphere/madden-julian-oscillation diakses 20 Juni 2019.
Arbain AA, Renggono F. 2017. Pengaruh Madden-Julian Oscillation terhadap disribusi dan propagasi hujan di wilayah Jakarta dan sekitarnya selama periode 2016 berdasarkan pengamatan radar cuaca. J. Sains & Tekno. Mod. Cuaca. 18(2): 49-55.
Hidayat R, Kizu S. 2009. Influence of the Madden-Julian Oscillation on Indonesian rainfall variability in austral summer. Int. J. Climatol. 2010;30 : 1816-1825.
Hidayat R. 2015. Occurence of extreme rainfall events associated with the Madden-Julian Oscillation. The 6th Asia/Oceania Meteorological Satellite Users’ Conference
Tokyo, Japan, 9-13 November 2015
Yulihastin E, Satyawardhana G, Nugroho GA . 2017.MJO modulation on diurnal rainfall over West Java during pre-monsoon and strong El Niño periods. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 54 (1), 012029.
1 komentar:
Terimakasih gan, sangat membantu :D
Posting Komentar