Gambar 1. Lokasi Pegunungan Meratus (Sadili dan Royani, 2018)
Geografis Kalimantan Selatan dan Kondisi Lokal Hujan
Kalimantan Selatan (disingkat Kalsel) adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Provinsi ini mempunyai 11 kabupaten dan 2 kota. Secara geografis berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur di utara, Provinsi Kalimantan Tengah di barat, serta Selat Makassar di timur dan Laut Jawa di selatan. Dari 13 kabupaten/kota tersebut, lima kabupaten dan satu kota di antaranya merupakan wilayah yang memiliki pulau-pulau kecil, yakni Kabupaten Barito Kuala, Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru, serta Kota Banjarmasin.
Menurut https://kalselprov.go.id/ Kalimantan Selatan berada di bagian tenggara pulau Kalimantan, memiliki kawasan dataran rendah di bagian barat dan pantai timur, serta dataran tinggi yang dibentuk oleh Pegunungan Meratus di tengah. Menurut https://www.mongabay.co.id/ geografis utama Kalimantan Selatan terdiri atas 2 hal. Pertama, adanya dataran rendah dan dataran tinggi. Kawasan dataran rendah kebanyakan berupa lahan gambut hingga rawa-rawa sedangkan kawasan dataran tinggi sebagian masih merupakan hutan tropis alami. Kalimantan Selatan menjadi bagian barat dan bagian timur yang dipisahkan oleh dataran tinggi yang dibentuk Pegunungan Meratus di tengah, dengan luas daerahnya 38.744,00 km². Kedua, memiliki curah hujan yang tinggi, khususnya di bagian pesisir.
Curah hujan di suatu lokasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor lokal, regional dan global termasuk di Kalimantan Selatan. Curah hujan di suatu wilayah secara geografis dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain elevasi atau ketinggian tempat/wilayah, jarak dari sumber air, barisan pegunungan serta luasan daratan dan perairan (secara lokal). Beberapa pengaruh lokal yang dapat mempengaruhi curah hujan di suatu lokasi di antaranya topografi, pola angin lokal, lokasi geografis setempat dan lain-lain. Maka, Pegunungan Meratus merupakan faktor lokal yang penting bagi hujan di Kalimantan Selatan.
Hubungan Hujan dan Topografi
Hubungan antara curah hujan dan topografi hasil banyak penelitian ditemukan bahwa topografi, terutama elevasi, memiliki pengaruh signifikan terhadap distribusi spasial curah hujan. Topografi di daerah pegunungan akan berdampak signifikan terhadap curah hujan lokal. Pengaruh pegunungan dikenal sebagai efek orografis. (Lee. et al., 2023). Pegunungan dapat menyebabkan angin yang lembap terdorong naik dan mendingin, membentuk awan hujan. Sebaliknya, lembah dan dataran rendah mungkin mengalami curah hujan yang lebih sedikit. Efek orografis, dapat menyebabkan intensifikasi curah hujan dan sebagai pemicu pembentukan konvektif. Pengaruh ini dapat diperkuat oleh perubahan iklim akibat pemanasan global, yang dapat memperkuat variabilitas spasial dan temporal curah hujan serta fenomena ekstrem. Letak geografis suatu lokasi mempengaruhi hujan setempat misalnya melalui proses hujan orografis. Pola angin lokal seperti peristiwa angin darat dan angin laut dapat memainkan peran penting dalam membawa uap air ke suatu wilayah dan mempengaruhi curah hujan.
Selain hujan orografis, juga adanya wilayah pesisir sangat terpengaruh signifikan secara diurnal dengan pola angin darat dan angin laut. Hujan di pesisir disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk potensi pertumbuhan awan hujan yang dapat menimbulkan angin kencang dan tinggi gelombang.
Secara umum faktor lokal yang perlu dipertimbangkan bagi curah hujan yaitu :
- Topografi suatu wilayah yang dapat mempengaruhi pola hujan. Adanya pegunungan yang menyebabkan kenaikan udara lembap, mendorong naik, mendingin membentuk awan hujan. Sebaliknya, adanya lembah dan dataran yang lebih rendah menyebabkan curah hujan lebih rendah.
- Vegetasi, yang dapat mempengaruhi siklus hidrologi dan penguapan. Adanya hutan yang lebat akan dapat meningkatkan penguapan dan lebih banyak uap air di atmosfer yang memungkinkan adanya hujan. Perubahan penggunaan lahan karena aktivitas manusia misalnya : deforestasi dan perubahan penggunaan lahan akan mengubah aliran air permukaan dan mengurangi kemampuan tanah menyerap hujan.
- Pola angin lokal antara angin darat dan angin laut yang dapat memainkan peranan penting dalam membawa uap air ke suatu daerah dan mempengaruhi hujannya.
- Suhu muka laut di sekitar wilayah. Suhu di permukaan laut dapat mempengaruhi pola angin dan penyebaran uap air serta berhubungan dengan variasi hujan setempat.
- Lokasi geografis suatu wilayah, berhubungan dengan garis lintang dan bujur yang mempengaruhi pola hujannya.
Gambar 2. Posisi Kalimantan Selatan
Gambar 3. Topografi di Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan
Sumber : Perkim.id (2023)
Peristiwa Efek Bendung Pegunungan Meratus
Pegunungan Meratus membagi Kalimantan Selatan menjadi dua daerah, menyebabkan perbedaan antara hujan di bagian Barat dan Timur Kalimantan Selatan. Daerah-daerah yang terpisah oleh dataran tinggi pegunungan Meratus ini memiliki kecenderungan terdapat sebaran curah hujan yang berbeda. Efek bendung pegunungan Meratus terhadap sebaran curah hujan yang berbeda dengan membagi 2 daerah yaitu sektor kiri (sebelah barat pegunungan Meratus) dan sektor kanan (sebelah timur pegunungan Meratus) (Gambar 3).
Kondisi efek bendung di wilayah Pegunungan Meratus memberikan dampak berupa perbedaan sebaran suhu udara dan curah hujan di bagian depan pegunungan (see ward) dan di bagian belakang pegunungan (lee ward). Angin monsun barat daerah sektor kiri mengalami kondisi yang lebih basah daripada sektor kanan di bulan November sampai Maret dengan puncak hujan maksimum di bulan Desember. Dan saat bertiup angin monsun timur daerah sektor kanan mengalami hal sebaliknya yaitu menjadi lebih basah di bulan April sampai September dengan puncak hujan maksimum di bulan Juli. (Fitriani dan Saputra, 2011).
Contoh studi kasus saat tahun 2021. Perbandingan hujan kriteria tinggi dan sangat tinggi di Pegunungan Meratus menunjukkan pada saat awal/akhir tahun puncak hujan cenderung akan terjadi di sebelah barat (Gambar 4). Sebaliknya, pada saat pertengahan tahun, di sebelah timur Pegunungan Meratus (Kab. Tanah Laut bagian timur, Kab. Tanah Bumbu dan sebagian besar Kab. Kotabaru) cenderung akan terjadi hujan yang tinggi. Fenomena hujan yang tinggi di pertengahan tahun terkait erat dengan faktor meteorologis, dapat dijelaskan sebagai pengaruh angin yang membawa uap air melalui daerah tersebut.
(a) (b)
Gambar 4. Perbandingan hujan kriteria tinggi hingga sangat (warna hijau)
(a) Awal/akhir tahun (misal : Januari 2021) puncak hujan di sebelah barat Pegunungan Meratus
(b) Pertengahan tahun (misal : Agustus 2021) puncak hujan di sebelah timur Pegunungan Meratus.
Catatan : Januari 2021 saat kejadian hujan ekstrem yang terjadi di Kalimantan Selatan dalam kondisi La Nina.
Contoh kejadian banjir di Kab. Tanah Laut dan Tanah Bumbu Agustus 2021
Contoh kejadian banjir di sebagian Kalimantan Selatan bagian Barat Januari 2021
Kalimantan Selatan Sebagai "Pintu Masuk" Angin Monsun Timuran
Kalimantan Selatan dapat dikatakan sebagai pintu masuk dari aliran angin monsun timur melalui Laut Jawa, merujuk pada peran geografis wilayah tersebut dalam memfasilitasi pergerakan angin monsun timuran. Angin monsun timur adalah angin yang berhembus dari Australia. Angin ini menuju arah Asia melalui Indonesia. Angin monsun timur ini terjadi sekitar periode April – Oktober. Pada periode ini, Indonesia umumnya akan mengalami musim kemarau. Secara umum, angin monsun adalah pola angin musiman yang mengalami perubahan arah secara berkala di sepanjang tahun.
Kalimantan Selatan terletak di sepanjang pesisir timur Pulau Kalimantan, berhadapan langsung dengan Laut Jawa. Wilayah ini berfungsi sebagai "pintu masuk" atau akses bagi angin monsun timuran yang bergerak dari Laut Jawa ke daratan. Laut Jawa memiliki suhu permukaan air yang lebih hangat selama musim panas, dan dapat menyebabkan udara di atasnya menghangat dan naik ke atmosfer. Udara yang naik ini digantikan oleh udara lain yang lebih sejuk. Sebagai "pintu masuk," Kalimantan Selatan menjadi daerah di mana angin monsun timuran dapat memasuki wilayah daratan dan berpengaruh pada iklim dan pola cuaca setempat. Pengaruh angin monsun ini dapat mempengaruhi curah hujan, suhu, dan kondisi iklim lainnya di wilayah tersebut selama musim tertentu.
Gambar 5. Ilustrasi angin timuran dan efek bendung Meratus
Mekanisme Terjadinya Hujan Orografis
Hujan orografis adalah jenis hujan yang sering terjadi di daerah pegunungan, termasuk di Pegunungan Meratus. Proses hujan orografis terjadi ketika angin yang lemah dan lembap dipaksa naik ke pegunungan. Massa udara yang hangat dan lembap dipaksa naik ke lereng pegunungan dan mendingin pada ketinggian yang lebih tinggi, menyebabkan kondensasi dan pembentukan awan hujan. Massa udara yang lembap tersebut berasal dari lautan, uap air akan menguap dari permukaan laut. Ketika udara yang mengandung uap air dipaksa naik di atas pegunungan, suhunya akan menurun secara adiabatik. Ketika udara naik, mendingin dan uap air dalam udara tersebut mengembun, membentuk awan, dan akhirnya turun sebagai hujan di sisi angin pegunungan. Proses ini disebut efek orografis dan dapat menyebabkan intensifikasi hujan di daerah pegunungan. Adanya rintangan topografi akan mendukung proses hujan tersebut. Makin ke atas suhunya, kian dingin pula udaranya dan menjadi kondensasi. Sementara uap air di lereng sebelahnya tertiup angin jatuh yang kering, dan disebut daerah bayangan hujan (Gambar 6).
Jumlah curah hujan yang dihasilkan oleh pengangkatan orografis sangat bergantung pada kedalaman awan yang terbentuk, bergantung pada bentuk dan ketinggian gunung. Pada lokasi yang dekat dengan lautan, curah hujan lebat biasanya terjadi di sisi atas pegunungan yang menonjol berorientasi pada angin bertiup dari lautan yang hangat, sementara di sisi bawah angin dari pegunungan tersebut, curah hujan biasanya rendah, dan daerah tersebut dikatakan berada dalam bayangan hujan.
Daerah bayangan hujan yaitu daerah yang tidak mengalami hujan. Di daerah ini, angin dari atas pegunungan ini akan mengalami pergerakan kemudian akan menuruni bagian lereng pegunungan. Angin ini menuruni lereng dengan kecepatan tinggi sekali. Daerah bayangan hujan menjadi kering dibandingkan dengan daerah lainnya karena adanya efek orografis yang disebabkan oleh topografi. Ketika udara turun ke sisi lain gunung, udara tersebut menjadi lebih kering karena telah kehilangan kelembaban saat naik. Hal ini menyebabkan daerah di sisi lembah atau bayangan hujan menjadi kering.
Menurut Lee et al., 2023 pengaruh hujan orografis dilihat dari sisi spasial hujannya sangat signifikan di daerah pegunungan. Di daerah pegunungan cenderung menerima hujan yang lebih intens dibandingkan dengan daerah dataran rendah di sekitarnya Efek pegunungan menyebabkan intensifikasi hujan, pemicu pembentukan awan konvektif. Pengaruh hujan orografis menciptakan pola distribusi hujan yang berbeda di pegunungan. Angin darat dan angin laut memiliki hubungan yang signifikan dengan efek orografis. Angin darat cenderung mengalami peningkatan kelembapan saat naik ke ketinggian, yang dapat menyebabkan kondensasi dan pembentukan hujan di sisi angin. Di sisi lain, angin laut cenderung mengalami penurunan kelembapan saat turun ke dataran rendah setelah melewati pegunungan, menyebabkan daerah bayangan hujan.
Gambar 6. Mekanisme terjadinya hujan orografis di suatu pegunungan
Gambar 7. Gambaran peristiwa hujan orografis di Pegunungan yang digambarkan oleh AI
Sumber : https://gencraft.com/
Peristiwa Fisis saat Hujan Orografis
Pada saat terjadinya hujan orografis diawali dengan adanya peristiwa pendinginan dan pemanasan massa udara. Pendinginan dan pemanasan massa udara terjadi karena tekanannya naik atau turun di atmosfer. Penurunan suhu udara seiring dengan ketinggian dikenal sebagai laju penurunan atmosfer (atau adiabatik), berkaitan dengan penurunan kepadatan dan tekanan udara seiring dengan bertambahnya ketinggian (saat udara naik, mengembang karena penurunan tekanan, sehingga menyebabkan penurunan suhu udara). Rata-rata tingkat penurunan suhu sekitar 7°C per km perubahan ketinggian. Jika massa udara mulai naik dan belum mencapai suhu titik embun, maka mengikuti laju penurunan adiabatik kering (dry adiabatic lapse rate), dengan laju pendinginan hampir seluruhnya disebabkan oleh penurunan tekanan udara (Gambar 8). Setelah suhu massa udara mencapai titik embun selama kenaikan terus-menerus, tetesan air mulai mengembun (membentuk awan) dan massa udara mengikuti laju penurunan adiabatik lembab (moist adiabatic lapse rate) (Gambar 8), dengan laju pendinginan seiring dengan ketinggian menurun karena penambahan sejumlah panas penyeimbang ke massa udara dari proses kondensasi (disebut sebagai panas laten).
Gambar 8. Skema penurunan suhu udara dan ketinggian
Penelitian Berhubungan tentang Hujan Orografis dan Hujan saat Ekstrem
Penelitian tentang meteorologis di sekitar Kalimantan Selatan masih sangat kurang, khususnya tentang keadaan cuaca/iklim di sekitar Pegunungan Meratus. Hal ini dapat menjadi kajian yang luas dan menarik dari sisi ilmu cuaca dan fisika. Penggunaan model akan sangat membantu menjelaskan bagaimana mekanisme hujan ekstrem dan kejadian hujan orografis tersebut terjadi.
Lee et al., 2023 mengusulkan untuk memodelkan hujan orografis, para peneliti dapat menggunakan model numerik cuaca misalnya model Weather Research and Forecasting (WRF). Model ini dapat memperhitungkan faktor-faktor seperti elevasi, arah angin, dan kelembapan udara untuk memprediksi pola hujan yang dihasilkan oleh efek orografis di daerah pegunungan. Model WRF dapat menunjukkan bahwa elevasi yang lebih tinggi di daerah pegunungan dapat menyebabkan peningkatan intensitas curah hujan, serta distribusi curah hujan yang lebih realistis dengan mempertimbangkan efek elevasi.
Gambar 9. Domain hujan simulasi (Lee et al., 2023)
Model dapat memprediksi pola curah hujan real-time yang mencerminkan efek pegunungan terhadap curah hujan, dengan data observasi lapangan dan model WRF. Model juga dapat memperbaiki distribusi spasial dan temporal curah hujan dengan koreksi bias. Intensitas curah hujan meningkat seiring dengan ketinggian, dan model yang diusulkan mampu mengestimasi hubungan antara curah hujan dan ketinggian. Model ini memiliki potensi untuk digunakan dalam prediksi banjir dan peringatan dini, terutama di daerah pegunungan. Namun, diperlukan penelitian lanjutan untuk menentukan keterbatasan dan keandalan hasilnya. Pengaruh pegunungan terhadap curah hujan dan pentingnya mempertimbangkan efek orografis dalam analisis presipitasi. Hal lain terkait juga mencakup simulasi dan evaluasi peristiwa curah hujan ekstrem menggunakan model WRF dan sistem prediksi cuaca numerik lainnya, mekanisme atmosfer, prediksi banjir, parameterisasi fisik, pemetaan spasial curah hujan, estimasi curah hujan saat ekstrem dan ketidakpastian dalam analisis frekuensinya.
Blocking atmosfer dapat mempengaruhi pola hujan orografis. Blocking atmosfer terjadi ketika pola aliran udara di atmosfer menjadi stagnan atau terhambat, menyebabkan pola cuaca yang persisten di suatu wilayah. Ketika terjadi blocking, pola aliran udara terhambat mempengaruhi distribusi curah hujan di daerah orografis. Hal ini dapat penyebab peningkatan hujan di beberapa daerah dan penurunan hujan di daerah lainnya, tergantung pada pola aliran udara yang terhambat dan topografi wilayah tersebut.
Garreaud banyak mengkaji tentang keadaan cuaca di sekitar daerah pegunungan. Salah satu tulisan beliau tentang daerah Pegunungan di Chile (Garreaud et al., 2015). Beliau menjelaskan tentang penggunaan hujan grid yang dapat menjelaskan hujan orografis untuk pemetaan distribusi hujan di daerah pegunungan.
Hujan grid yang dimaksud beliau adalah metode pengumpulan dan analisis data curah hujan dengan sistem grid untuk memetakan distribusi hujan di suatu wilayah. Pembagian area menjadi beberapa grid atau kotak kecil, yang memiliki ukuran tertentu dan berfungsi untuk menghitung jumlah curah hujan yang jatuh di dalamnya. Data hujan yang diperoleh blending/ asimilasi berbagai sumber, lalu dipetakan dalam format grid. Hujan grid dapat digunakan untuk menjelaskan hujan orografis melalui pemetaan distribusi curah hujan di daerah pegunungan. Hujan grid di sini merujuk pada data hujan yang dihasilkan model cuaca numerik WRF, yang dibagi menjadi grid atau kotak-kotak kecil. Metode ini memungkinkan pengamatan dan simulasi curah hujan di berbagai elevasi dan lokasi di pegunungan, sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang variabilitas curah hujan orografis. Melalui metode ini, dapat mempelajari pola hujan yang terjadi selama periode pra-frontal, frontal, dan pasca-frontal, serta memahami variabilitas curah hujan di kaki gunung dan daerah pantai. Variabilitas curah hujan di pegunungan fase presipitasi, yang ada perbedaan dalam distribusi curah hujan antara ketiga periode yaitu : periode pra-frontal, frontal, dan pasca-frontal. Periode hujan intens yang singkat cenderung terjadi di daerah pegunungan, dapat memicu bencana hidrometeorologi. Variabilitas curah hujan di pegunungan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu elevasi, arah angin, dan fase presipitasi.
Al Habib et al., 2023 menganalisis pola hujan di sekitar Kalimantan Selatan menggunakan model numerik WRF. Penelitian ini membahas hujan ekstrem dan banjir di Kalimantan Selatan pada Januari 2021, yang disebabkan oleh kondisi atmosfer tidak stabil dan pertumbuhan awan konvektif. Studi ini menggunakan model WRF-ARW dapat mensimulasikan fenomena hujan lebat dan mengidentifikasi skema parameterisasi terbaik untuk memprediksi curah hujan di wilayah tersebut. Analisis juga mempertimbangkan faktor-faktor seperti transportasi uap air, suhu puncak awan, dan hujan orografis. Kesimpulannya model WRF dapat digunakan untuk prakiraan dan analisis operasional hujan yang ekstrem di Kalimantan Selatan. Kejadian ekstrem ini tentu saja sangat didukung kondisi saat itu pada waktu kuatnya aktivitas monsun Asia, kejadian La Nina dan saat pasang naik dan berbagai faktor lainnya yang membuat terjadinya hujan ekstrem. Keadaan hujan ekstrem dan pertumbuhan awan konvektif yang ditangkap pada penelitian ini hanya terllihat pada bagian barat Kalimantan Selatan, berbanding terbalik dengan kondisi di timurnya. Hal ini secara tidak langsung menjelaskan pentingnya posisi Pegunungan Meratus sebagai penyangga iklim di Kalimantan Selatan.
Gambar 11. Analisis spasial hujan saat tanggal 12-14 Januari 2021 di Kalimantan Selatan
(a) Menggunakan model WRF-ARW
(b) Menggunakan satelit GsMAP
Penelitian dan kajian tentang hujan orografis seperti halnya di Pegunungan Meratus merupakan informasi yang sangat penting. Kajiannya masih sangat kurang. Pemahaman tentang pola hujan di daerah setempat sangat berguna untuk permodelan curah hujan dan mitigasi bencana, khususnya di daerah sekitar pegunungan.
Sumber :
Internet :
http://www.bom.gov.au/climate/enso/indices/about.shtml diakses 26 September 2022
https://www.climate4life.info/2018/11/memahami-fenomena-enso-el-nino-dan-la-nina.html diakses 29 September 2022
https://faculty.kutztown.edu/courtney/blackboard/Physical/15orographic/orographic.html diakses 30 September 2022
https://id.wikipedia.org/wiki/Sirkulasi_Walker diakses 26 September 2022
https://iridl.ldeo.columbia.edu/maproom/ENSO/ENSO_Info.html diakses 29 September 2022
http://iklim.bali.bmkg.go.id/2019/12/04/memahami-fenomena-enso-el-nino-dan-la-nina/ diakses 26 September 2022
https://kalselprov.go.id/ diakses 26 September 2022
https://perkim.id/profil-pkp/profil-provinsi/profil-perkembangan-kawasan-permukiman-provinsi-kalimantan-selatan/ diakses 10 November 2022
https://www.mongabay.co.id/2023/03/01/dorong-generasi-muda-bergerak-lintas-iman-untuk-keadilan-iklim/ diakses 8 Maret 2023
http://simtaru.kalselprov.go.id/web/album_peta/1/semua/desc/ diupdate 26 September 2022
https://tirto.id/info-banjir-kalsel-terbaru-2021-penyebab-daftar-daerah-terendam-f9eT diakses 25 September 2022
https://www.tribunnews.com/regional/2021/08/14/banjir-di-kalsel-5-desa-di-satui-tanahbumbu-terendam-ketinggian-air-hingga-1-meter diakses 25 September 2022
Jurnal
Al Habib, A.H., Firdiyanto, R.A. 2023. WRF-ARW Numerical Model Sensitivity Test on Simulation of Loud Rain in The South Kalimantan Area. JFA (Jurnal Fisika dan Aplikasinya),19, (3) : 79-85.
Fitriani, R.N, Saputra, A.H. 2017. Efek bendungan pegunungan Meratus terhadap sebaran curah hujan di Propinsi Kalimantan Selatan periode 2009-2012 https://stamet.syamsudinnoor.bmkg.go.id/artikel-efek-bendung-pegunungan-meratus-terhadap-sebaran-curah-hujan-di-provinsi-kalimantan-selatan-periode-tahun-2009—2012-4 diupdate 03 Oktober 2022
Garreaud R., Alvey M.F., Montecinos, A.M. 2015. Orographic Precipitation in Coastal Southern Chile: Mean Distribution, Temporal Variability, and Linear Contribution. Journal of Hydrometeorology, 16(3), 1193-1201.
Lee, J., Lee, O., Choi, J., Seo, J., Won, J.,Jang, S., Kim, S. 2023. Estimation of Real-Time Rainfall Fields Reflecting the Mountain Effect of Rainfall Explained by the WRF Rainfall Fields. Water, 15, 1794. https://doi.org/10.3390/w15091794
Sadili, A., Royyani, MF. 2018. Keanekaragaman, persebaran dan pola tata ruang tumbuhan epifit pada hutak bekas tebangan di Kiyu, Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Berita Biologi. 17(1) : 1-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar